Pendidikan Itu Bertanya, Bukan Menghafal

Author wong cilik Category

PERSOALAN yang membelit pendidikan kita seakan tidak pernah berhenti. Setiap tahun Ujian Nasional (UN) terus menuai kontroversi. Persoalan mental, moral, dan karakter generasi muda yang lemah serta komersialisasi pendidikan menghasilkan sebuah pertanyaan: akan dibawa ke mana pendidikan kita. Kepada Suara Merdeka, Prof Retmono, pakar pendidikan yang sekaligus Ketua Dewan Pendidikan Jawa Tengah mencoba mengurai akar permasalahan itu. Apa solusi yang ditawarkan? Berikut petikan perbincangan dengan penulis "Gayeng Semarang" itu di Semarang, belum lama ini.

Keberadaan UN dari tahun ke tahun terus dipersoalkan. Menurut Anda apakah UN memang solusi menuju peningkatan kualitas pendidikan nasional?

UN itu bermaksud baik. Dari UN kita dapat melihat kemampuan siswa selama menjalani proses belajar. Selain itu ia juga bertujuan untuk memetakan kualitas pendidikan antarwilayah. Untuk mengetahui mana daerah yang bagus tingkat pendidikannya dan mana yang kurang. Tak pelak, yang kurang itu pun akhirnya bisa dimonitor. Mengapa kurang? Apa masalahnya? Bagaimana mengatasinya?

Tetapi dalam praktik mengapa UN terus-menerus dipermasalahkan? Apa yang salah dari UN jika konsep dasarnya bagus?
Memang tidak dapat dimungkiri pro kontra datang silih berganti. Yang kontra mengatakan UN hanya merupakan ajang eksploitasi siswa. UN membuat anak tertekan karena tidak lulus, padahal dia pandai, juara olimpiade, dan lain-lainnya. Yang terbaru malah menyisakan ironisme. Di daerah pucuk gunung ada yang lulus 100 persen. Akan tetapi di kota malah ada yang tidak lulus. Lalu pada saat mata pelajaran lain tidak bermasalah, Bahasa Indonesia justru jeblok. Ini kan ironis. Tapi kalau menurut saya, bukan salah konsepnya. Hanya ada hal-hal teknis yang harus dibenahi.

Hal-hal teknis? Maksud Anda?

Ya misalnya pembuatan soalnya. Siapa yang membuat? Apakah mereka itu berasal dari universitas yang memiliki FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dan memahami dasar-dasar pendidikan? Ternyata tidak atau tidak semuanya. Hasilnya? Banyak soal yang tidak sesuai. Intinya ujian itu kan menguji materi yang sudah diberikan pada siswa, tetapi masalahnya materi itu terlalu banyak sehingga kadang guru tidak punya cukup waktu untuk menyampaikan semua secara mendalam. Ini juga mengakibatkan pembuat soal kesulitan sehingga keseluruhan soal tidak cukup mencakup semua materi. Celakanya lagi fokus dari soal-soal itu tidak imbang.

Jadi UN tetap dilanjutkan, namun kita harus membenahi bagian-bagian yang kurang sesuai itu?

Ya UN harus dilanjutkan. Sistemnya harus dievaluasi. Misalnya merancang kerangka dan kisi-kisi secara lebih proporsional. Kemudian, konsistensi pemerintah untuk menindaklanjuti hasil UN. Permasalahan utama yang muncul: mengapa daerah tertentu hasil UN-nya jeblok? Karena sumber daya manusia atau para guru kurang. Karena itu harus ditambal, datangkan guru-guru berkualitas, dan bangun sarana prasarana yang menunjang.

Jika hal itu merupakan amanat undang-undang, mengapa tidak dilakukan?
Di beberapa daerah seperti Jawa Tengah, sudah. Akan tetapi banyak yang belum atau kurang. Salah satunya karena ada kendala otonomi daerah. Daerah-daerah yang punya SDM bagus tidak rela asetnya dikurangi. Ini harus ditengahi oleh pemerintah pusat dengan membuat kebijakan tersendiri.

Jika tidak, tentu saja UN menjadi tidak berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan begitu Prof?
Lebih buruk, pendidikan yang lemah akan menghasilkan kualitas SDM yang buruk. Juga pada mental, moral dan karakter bangsa yang lemah. Karena pendidikan adalah hulu dari pembangunan di berbagai bidang. Moral yang buruk menyebabkan mudah kita mudah terbujuk untuk korupsi, pola pikir tidak terkonstruksi dengan baik sehingga mengedepankan emosi dan mudah terprovokasi. To blind in the crowd. Kita mudah kehilangan arah dalam keriuhan massa.


Untuk mengobatinya, apakah perlu disuntikkan pendidikan moral tersendiri?

Saya pikir bukan itu solusinya. Tidak perlu ada mata pelajaran tersendiri. Anak-anak kita sudah terlalu dibebani banyak materi pelajaran yang malah membuat mereka tertekan. Kuncinya di sistem pendidikan. Sejak dulu sistem pendidikan kita tidak banyak berubah. Akhirnya kita tidak siap menghadapi gelombang arus perubahan zaman. Tanpa bekal yang mencukupi, anak-anak kita mudah terjerumus dalam pornografi dan hal-hal negatif lain.

Lalu, sistem bagaimanakah yang bisa menjamin pendidikan karakter itu Prof?

Sistem pendidikan yang dikembalikan pada hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan itu bukan menghafal tapi mempertanyakan. Dengan bertanya, otak akan bekerja untuk terus menerus mengolah informasi. Tidak hanya menerima segala sesuatu yang sudah ada sebagai satu-satunya kebenaran. Coba, mana ada seorang anak yang bertanya kepada ayahnya yang pegawai golongan tiga bisa punya mobil Alphard?

Berarti selama ini pendidikan kita salah dari awal?
Secara regulasi sudah benar, namun persoalannya, kita sering tidak konsisten dalam menerapkan peraturan. Lihat saja, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 14 Tahun 2005, dari 37 pasal yang memuat ketentuan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP), tetapi hanya sedikit yang sudah dibuatkan PP-nya. Jadi baik penyelenggara pendidikan maupun tenaga pendidikan kurang mendapat acuan yang jelas dan detail.

Dan ketidakkonsistenan dari pusat ini menurun kepada yang di daerah?
Betul. Bahkan guru sering tidak konsisten dalam menjadi teladan. Program sertifikasi guru itu bagus, tetapi digagalkan sendiri oleh para oknum guru dengan berbagai kecurangan untuk lolos sertifikasi. Maka sertifikasi jadi tidak memiliki output untuk menaikkan SDM guru. Ketika SDM guru lemah, maka kita tidak bisa berharap akan menghasilkan siswa yang ber-SDM kuat.

Berarti juga harus ada pendidikan mental, moral dan karakter untuk guru?

Iya guru memang harus dituntut begitu, sehingga tanpa mata pelajaran khusus pun, pendidikan moral, mental dan karakter itu sudah terintegrasikan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Teladani bagaimana berdisiplin, bertanggungjawab, dan berdemokrasi. Sudah tidak zaman lagi guru sebagai satu-satunya sumber ilmu. Kita harus memberi kebebasan siswa untuk mencari sumber lain, dari mana pun, lalu kita ajak mereka berdiskusi.

Bagaimana dengan peran orang tua?

Itu juga signifikan. Bagaimana kita bisa membuat jalinan kerja sama yang saling mendukung antara rumah, masyarakat, dan sekolah. Tiga wilayah inilah yang menjadi basis pendidikan. Terutama di rumah, tempat sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan. Misalnya, jika sedari di rumah anak-anak sudah dibiasakan untuk berdemokrasi, berdiskusi dengan menghormati perbedaan serta pendapat orang lain, maka hal itu akan dipraktikkannya di manapun.
Tapi apakah masih yakin orang tua bisa memaksimalkan perannya jika tenaganya sudah habis untuk memikirkan biaya sekolah yang mencekik leher?

Ya itulah, pendidikan kita lambat laun menjadi komersial. Semakin tidak memenuhi rasa keadilan pada semua warga negara untuk mendapatkan hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Meski selalu dibantah dengan memberikan dispensasi pada siswa tidak mampu, tapi kuotanya terlalu sedikit. Kuota terbanyak tetap yang mampu membayar. Jika diteruskan maka kita akan kembali ke zaman penjajahan ketika hanya orang-orang tertentu yang bisa bersekolah.

Bagimana dengan pendidikan gratis?

Itu lucunya. Tidak ada pendidikan gratis. Itu hanya slogan yang dipakai politikus untuk nyalon wali kota. Slogan itu sendiri juga menyesatkan, mengajak rakyat kecil untuk bermimpi bahwa negara seharusnya memberikan semuanya secara gratis tanpa pengorbanan apa pun. Juga tidak adil, masa yang kaya dan tidak mampu gratis semua.


Lalu yang ada pendidikan seperti apa?

Yang ada itu pendidikan murah. Undang-undang telah mengamanatkan baik APBN dan APBD mengalokasikan 20 persen anggaran pendidikan. Ironisnya, 20 persen itu boleh termasuk anggaran gaji pegawai. Padahal gaji itu bisa separo sendiri. Seharusnya murni untuk pembangunan sarana prasarana pendidikan, pelatihan guru, atau penyediaan buku.

Sekali lagi ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan regulasi?
Ada lagi dan ini terkait komersialisasi pendidikan. Dalam Permendiknas No 20 tahun 2005 tentang UN, tercantum di situ bahwa salah satu tujuan UN juga sebagai seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Tapi apa perguruan tinggi mau? Tidak, karena dengan begitu tidak ada duitnya. Perguruan tinggi, tetap dengan ujian masuk sendiri.
Kalau begitu kemudian apa solusi yang bisa ditawarkan?

Ya, dengan segala kekurangan ini tentunya harus ada reaksi dari pemerintah untuk mengevaluasi dan menyempurnakannya. Semuanya harus dievaluasi, sampai hal-hal terkecil. Seperti, apakah kampanye sekolah kejuruan itu benar-benar bisa mengurangi pengangguran? Berapa jumlah lapangan pekerjaan yang ada dibanding jumlah pengangguran? Kenapa tidak mengedepankan pendidikan yang mengarah kepada motivasi dan bekal untuk berwirausaha sehingga bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Itulah seabrek persoalan yang membelit pendidikan kita. (35)

Sumber : http://suaramerdeka.com


0 komentar:

Posting Komentar

Theme by New wp themes | Bloggerized by Dhampire